1. Definisi Psikologi Forensik
Secara umum
psikologi forensik dibangun oleh dua displin ilmu yang beririsan yakni
psikologi dan hukum yang melahirkan psikologi forensik. Psikologi adalah ilmu
yang mempelajari jiwa/psikis manusia, sehingga dalam setiap kehidupan manusia
maka psikologi berusaha untuk menjelaskan masalah yang dihadapi. Tak terkecuali
dalam permasalahan hukum. Di Indonesia, psikologi kemudian membagi bidangnya
menjadi 6 yaitu psikologi klinis, perkembangan, psikologi umum dan eksperimen,
psikologi sosial, psikologi pendidikan, psikologi industri dan organisasi. Pada
kenyataannya di Amerika Serikat, pembagian ini sudah menjadi lebih dari 50 bagian,
mengikuti semakin kompleksnya permasalahan yang dihadapi manusia. Salah satunya
adalah permasalahan dalam bidang hukum, bagian dari psikologi yang menanganinya
sering dikenal sebagai psikologi forensik. Apa itu psikologi forensik?
Psikologi
forensik adalah aplikasi metode, teori, dan konsep-konsep psikologi dalam
sistem hukum. Setting dan kliennya bervariasi, mencakup anak-anak maupun orang
dewasa. Semua jenis institusi, mencakup korporasi, lembaga pemerintah,
universitas, rumah sakit dan klinik, serta lembaga pemasyarakatan, dapat
terlibat sebagai klien atau obyek kesaksian dalam berbagai macam kasus hukum.
Sundberg
et,al (2007) memberikan defenisi psikologi ferensik sebagai kajian ilmiah
psikologi termasuk isu – isu klinis yang diaplikasikan pada beberapa bagian
sistem hukum atau sistem peradilan.
Committee on
ethical guidelines for forensic psychologists (1991), psikologi adalah semua
pekerjaan psikologi yang secara langsung membantu pengadilan, pihak-pihak yang
terlibat proses hukum, fasilitas-fasilitas kesehatan mental koreksional dan
forensik, dan badan badan adminitratif, judikatif dan legislatif yang bertindak
dalam sebuah kapasitas judisial. Layanana psikologi forensik pada Psikologi
hukum adalah semua bentuk pelayanan psikologi yang dilakukan di dalam hukum.
Meliala
(2008) menyatakan psikologi forensik merupakan istilah yang dapat memayungi
luasnya cakupan keilmuan psikologi forensik. Komunitas psikologi forensik di
Indonesia juga menyepakati istilah psikologi forensik dengan membentuk komunitas
minat di bawah HIMPSI dengan nama Asosiasi Psikologi Forensik Indonesia
(APSIFOR).
2. Sejarah Psikologi Forensik
Pada tahun
1901, William Stern melaporkan bahwa dia sedang meneliti ketepatan ingatan
orang --- suatu rintisan awal dalam penelitian yang banyak dilakukan pada masa
kini tentang ketepatan kesaksian seorang saksi. Dalam ceramahnya kepada
sejumlah hakim Austria pada tahun 1906, Freud mengatakan bahwa psikologi dapat
diaplikasikan pada hukum. Kemudian John Watson juga mengemukakan bahwa
psikologi dan hukum memiliki kesamaan kepentingan.
Pada tahun
1908, Hugo von Munsterberg menerbitkan bukunya tentang the Witness Stand.
Dia mengeluhkan bahwa tidak ada orang yang lebih resisten daripada insan hukum
terhadap gagasan bahwa psikolog dapat berperan dalam pengadilan. Dia menuduh
bahwa pengacara, hakim, dan bahkan juga anggota juri tampaknya berpendapat
bahwa yang mereka butuhkan agar dapat berfungsi dengan baik hanyalah common
sense.
Prof. John
Wigmore (1909), seorang profesor hukum terkemuka di Northwestern University,
memandang dakwaan Munsterberg itu sebagai arogansi. Untuk menanggapi dakwaan
tersebut, Wigmore menulis sebuah fiksi karikatur yang menggambarkan pengadilan
terhadap Munsterberg. Munsterberg dituntut karena telah menyebarkan fitnah,
dituduh telah membesar-besarkan peranan yang dapat ditawarkan oleh seorang
psikolog, mengabaikan pertentangan pendapat yang terjadi di kalangan para
psikolog sendiri, dan tidak dapat memahami perbedaan antara hasil laboratorium
dan realita persyaratan hukum. Tentu saja “pengadilan” itu menempatkan
Munsterberg pada posisi yang kalah dan harus membayar denda.
Serangan
Wigmore ini demikian pintar dan menghancurkan sehingga baru 25 tahun kemudian
psikolog dipandang tepat lagi untuk berperan sebagai seorang saksi ahli. Akan
tetapi, tidak lama menjelang kematiannya sekitar 30 tahun kemudian, Wigmore
memperlunak kritiknya. Dia menyatakan bahwa pengadilan seyogyanya siap
menggunakan setiap cara yang oleh para psikolog sendiri disepakati sebagai cara
yang sehat, akurat, dan praktis.
Namun
demikian, pengaruh langsung psikologi relatif kecil terhadap hukum hingga tahun
1954. Pada tahun tersebut Kejaksaan Agung akhirnya memberi perhatian pada
ilmu-ilmu sosial dalam kasus dissegregasi Brown v. Board of Education.
Kemudian, pada tahun 1962 Hakim Bazelon, yang menulis tentang the U.S. Court
of Appeals untuk the District of Columhia Circuit, untuk pertama
kalinya menyatakan bahwa psikolog yang berkualifikasi dapat memberikan
kesaksian di pengadilan sebagai saksi ahli dalam bidang gangguan mental.
Kini,
psikolog selalu dilibatkan sebagai saksi ahli dalam hampir semua bidang hukum
termasuk kriminal, perdata, keluarga, dan hukum tatausaha. Di samping itu,
mereka juga berperan sebagai konsultan bagi berbagai lembaga dan individu dalam
sistem hukum. Kini psikologi forensik telah tiba pada suatu titik di mana
terdapat spesialis dalam bidang penelitian psikolegal, program pelatihan
interdisiplin sudah menjadi sesuatu yang lazim, dan berbagai buku dan jurnal
dalam bidang keahlian ini sudah banyak diterbitkan.
Anggota Kelompok :
- Nikki Oktivany Putri
- Fitri Nurhayati
- Raisa Iga E
- Tera N Harfiah
Kelas : 4ia10
setelah pembahasan tentang definisi dan sejarah psikologi Forensik selanjutnya akan membahas tentang tugas psikologi forensik yang akan dibahas oleh Raisa Iga E (http://raisaprincessofgod.blogspot.com )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar